Pandangan Pertama
Aku
Bagaimana menurutmu tentang “cinta datang dari pandangan pertama?”
Mata
“Tidak sepenuhnya, bahkan terkadang tidak sama sekali. Karena, aku mencintai Tuhanku dengan kesucian hati, meski aku belum pernah melihat-Nya.”
Hati
“Apa yang dikatakan dia itu benar, karena aku juga begitu. Rasa cintaku kepada ibu yang telah melahirkanku, sudah ada sejak sebelum aku mengenal wajah menawan seorang ibu.”
Kulit
“Aku juga, terpaan tiupan angin, sungguh aku sangat mencintainya. Meski diri ini belum juga melihat seperti apa wujud dirinya yang sesungguhnya.
Pikiran
“Kalau aku lain, karena aku tidak bisa melihat ataupun merasa. Maka maafkan jika diri ini tiada ungkapan yang indah seperti apa yang kalian ucapkan.”
Akal
“Wajar saja kalau dia berkata begitu, mungkin dia enggan. Karena, hak sepenuhnya untuk bicara adalah diriku.
Aku
“Sudahlah, katakan apa yang ingin engkau sampaikan, jangan berbelit-belit.”
Akal
“Perasaan yang timbul dari pandangan pertama mempunyai tiga arti: pertama, itulah hasrat cinta; kedua, dialah getaran nafsu; dan ketiga, perpaduan antara cinta dan nafsu.”
Mata
“Hai, dari mana engkau mendapat pengertian itu?”
Akal
“Tanyalah pada hati, karena dia lebih tahu dariku.”
Hati
“Mungkin benar apa yang akal ucapkan, karena keduanya itu keluar dariku.”
Pikiran
“Lalu apa perbedaan dari keduanya?”
Hati
“Kalau ini, akal yang lebih tahu, karena tiap hari dia senantiasa menyertai mereka.”
Akal
“Jawab dulu apa yang ditanyakan mata, sebelum engkau melemparkan pertanyaan dari pikiran padaku.”
Hati
“Nafsu timbul karena tidak adanya keseimbangan antara akal dan pikiran, maka yang terjadi adalah keinginan sesaat dan keputusan yang tergesa-gesa. Berbeda dengan cinta, tapi untuk ini, nanti saja.”
Aku
“Nah sekarang, giliranmu akal.”
Aqal
“Baiklah, kebanyakan nafsu diawali oleh ilusi dan khayalan, nafsu keluar karena rasa ketidakpuasan, dan ujungnya hanya sebuah pelampiasan. Sedang cinta, dia lahir melalui proses pencarian, dia berjalan dengan pertimbangan, dan dia wujud karena adanya penyatuan.”
Pikiran
“Sungguh, aku menjadi bingung, apakah tidak ada cara yang lebih mudah untuk membedakannya?”
Hati
“Pada maksud dan tujuan.”
Aku
“Hai hati, kenapa engkau malah menambah persoalan baru?”
Hati
“Kalau engkau ingin mengerti cinta, maka jangan sekali-kali menolak jawaban itu.”
Aku
“Baiklah aku akan berusaha.”
Hati
“Dari nafsu maksud jahat akan timbul, maka yang terjadi adalah tujuan yang tiada guna. Kerusakan, kesenangan, kemunafikan, keangkuhan, kesombongan bahkan ketidakadilan. Meski dirinya memakai kedok kebaikan. Dari cinta awalnya memang menyakitkan, karena dia adalah obat. Mengobati itulah maksud yang terkandung, dan penyadaran adalah tujuannya sebagai bukti pengabdian.”
Mata
“Dari mana engkau mendapat jawaban itu, sedang aku yang menjalani saja tidak tahu.”
Hati
“Dari akal, karena dirinya yang dapat berpikir, dan dariku sendiri karena aku yang merasa.”
Aku
“Lalu, apa gunanya mata?”
Akal
“Saudaraku, mata adalah pintu gerbang bagi kita. Karena, tanpa dirinya kita tidak akan mengerti apa-apa, termasuk cinta.”
Pikiran
“Kalau telinga?”
Akal
“Sebagai pengganti saat dirinya tidak bisa bekerja.”
Aku
“Bisakah cinta hadir dalam pandangan pertama?”
Akal
“Bisa saja, Jika hati ikut serta.”
Pikiran
“Apakah selama ini mata tidak berkerja dengan hati?”
Hati
“Bekerja, namun kami tidak menyatu.”
Aku
“Mengapa?”
Hati
“Karena aku tidak lagi suci. Diriku terpenuhi noda-noda ketersesatan yang telah dirinya perbuat.”
Mata
“Hai hati, mengapa engkau menyalahkan aku. Bukankah nafsumu yang membuat aku berbuat seperti itu.”
Hati
“Memang, tapi kenapa engkau mau?”
Mata
“Hebat, hebat! Dirimu memang pandai memutar balikkan fakta. Coba sekarang tanyakan nafsumu. Bukankah dia juga membutuhkan?”
Hati
“Baiklah, aku akan bertanya padanya. Hai nafsu! Benarkah apa yang dikatakan mata?”
Nafsu
“Benar, namun pikiran yang membujukku.”
Pikiran
“Hai nafsu, kenapa aku kau bawa-bawa?”
Nafsu
“Karena cuma kamu yang bisa berbuat itu.”
Pikiran
“Betul katamu! Tapi, aku sekadar pelaksana, akal yang menyuruhku.”
Akal
“Hai pikiran! Beraninya kamu menuduhku.”
Pikiran
“Apa? Menuduh! Sungguh, engkau memang munafik akal.”
Aku
“Sudah, sudah, jangan diteruskan. Ini semua juga kesalahanku, karena ketidakberdayaanku. Yang penting sekarang, apakah memang bisa cinta itu hadir dalam pandangan pertama?”
Mata
“Bisa! Asal nafsu tidak ikut serta.”
Aku
“Apa mungkin?”
Hati
“Mungkin! Jika pikiran tidak lagi mengganggu.”
Mata
“Hai hati! Kamu jangan gila. Apa kamu tidak menyadari, selama akal masih ada, pikiran akan selalu mengganggunya.”
Hati
“Kalau begitu?”
Aku
“Ya, hanya kamu yang dapat mencegahnya.”
Akal
“Bukan! Bukan dia saja yang bertanggung jawab. Melainkan aku dan dia yang akan menyadarkan nafsu. Asal dia dan aku bisa menyatu, nafsu dapat kami hentikan.”
Aku
“Lalu kapan itu terjadi?”
Hati
“Saat dirimu memahami kami.”
Aku
“…?”
Aku
Bagaimana menurutmu tentang “cinta datang dari pandangan pertama?”
Mata
“Tidak sepenuhnya, bahkan terkadang tidak sama sekali. Karena, aku mencintai Tuhanku dengan kesucian hati, meski aku belum pernah melihat-Nya.”
Hati
“Apa yang dikatakan dia itu benar, karena aku juga begitu. Rasa cintaku kepada ibu yang telah melahirkanku, sudah ada sejak sebelum aku mengenal wajah menawan seorang ibu.”
Kulit
“Aku juga, terpaan tiupan angin, sungguh aku sangat mencintainya. Meski diri ini belum juga melihat seperti apa wujud dirinya yang sesungguhnya.
Pikiran
“Kalau aku lain, karena aku tidak bisa melihat ataupun merasa. Maka maafkan jika diri ini tiada ungkapan yang indah seperti apa yang kalian ucapkan.”
Akal
“Wajar saja kalau dia berkata begitu, mungkin dia enggan. Karena, hak sepenuhnya untuk bicara adalah diriku.
Aku
“Sudahlah, katakan apa yang ingin engkau sampaikan, jangan berbelit-belit.”
Akal
“Perasaan yang timbul dari pandangan pertama mempunyai tiga arti: pertama, itulah hasrat cinta; kedua, dialah getaran nafsu; dan ketiga, perpaduan antara cinta dan nafsu.”
Mata
“Hai, dari mana engkau mendapat pengertian itu?”
Akal
“Tanyalah pada hati, karena dia lebih tahu dariku.”
Hati
“Mungkin benar apa yang akal ucapkan, karena keduanya itu keluar dariku.”
Pikiran
“Lalu apa perbedaan dari keduanya?”
Hati
“Kalau ini, akal yang lebih tahu, karena tiap hari dia senantiasa menyertai mereka.”
Akal
“Jawab dulu apa yang ditanyakan mata, sebelum engkau melemparkan pertanyaan dari pikiran padaku.”
Hati
“Nafsu timbul karena tidak adanya keseimbangan antara akal dan pikiran, maka yang terjadi adalah keinginan sesaat dan keputusan yang tergesa-gesa. Berbeda dengan cinta, tapi untuk ini, nanti saja.”
Aku
“Nah sekarang, giliranmu akal.”
Aqal
“Baiklah, kebanyakan nafsu diawali oleh ilusi dan khayalan, nafsu keluar karena rasa ketidakpuasan, dan ujungnya hanya sebuah pelampiasan. Sedang cinta, dia lahir melalui proses pencarian, dia berjalan dengan pertimbangan, dan dia wujud karena adanya penyatuan.”
Pikiran
“Sungguh, aku menjadi bingung, apakah tidak ada cara yang lebih mudah untuk membedakannya?”
Hati
“Pada maksud dan tujuan.”
Aku
“Hai hati, kenapa engkau malah menambah persoalan baru?”
Hati
“Kalau engkau ingin mengerti cinta, maka jangan sekali-kali menolak jawaban itu.”
Aku
“Baiklah aku akan berusaha.”
Hati
“Dari nafsu maksud jahat akan timbul, maka yang terjadi adalah tujuan yang tiada guna. Kerusakan, kesenangan, kemunafikan, keangkuhan, kesombongan bahkan ketidakadilan. Meski dirinya memakai kedok kebaikan. Dari cinta awalnya memang menyakitkan, karena dia adalah obat. Mengobati itulah maksud yang terkandung, dan penyadaran adalah tujuannya sebagai bukti pengabdian.”
Mata
“Dari mana engkau mendapat jawaban itu, sedang aku yang menjalani saja tidak tahu.”
Hati
“Dari akal, karena dirinya yang dapat berpikir, dan dariku sendiri karena aku yang merasa.”
Aku
“Lalu, apa gunanya mata?”
Akal
“Saudaraku, mata adalah pintu gerbang bagi kita. Karena, tanpa dirinya kita tidak akan mengerti apa-apa, termasuk cinta.”
Pikiran
“Kalau telinga?”
Akal
“Sebagai pengganti saat dirinya tidak bisa bekerja.”
Aku
“Bisakah cinta hadir dalam pandangan pertama?”
Akal
“Bisa saja, Jika hati ikut serta.”
Pikiran
“Apakah selama ini mata tidak berkerja dengan hati?”
Hati
“Bekerja, namun kami tidak menyatu.”
Aku
“Mengapa?”
Hati
“Karena aku tidak lagi suci. Diriku terpenuhi noda-noda ketersesatan yang telah dirinya perbuat.”
Mata
“Hai hati, mengapa engkau menyalahkan aku. Bukankah nafsumu yang membuat aku berbuat seperti itu.”
Hati
“Memang, tapi kenapa engkau mau?”
Mata
“Hebat, hebat! Dirimu memang pandai memutar balikkan fakta. Coba sekarang tanyakan nafsumu. Bukankah dia juga membutuhkan?”
Hati
“Baiklah, aku akan bertanya padanya. Hai nafsu! Benarkah apa yang dikatakan mata?”
Nafsu
“Benar, namun pikiran yang membujukku.”
Pikiran
“Hai nafsu, kenapa aku kau bawa-bawa?”
Nafsu
“Karena cuma kamu yang bisa berbuat itu.”
Pikiran
“Betul katamu! Tapi, aku sekadar pelaksana, akal yang menyuruhku.”
Akal
“Hai pikiran! Beraninya kamu menuduhku.”
Pikiran
“Apa? Menuduh! Sungguh, engkau memang munafik akal.”
Aku
“Sudah, sudah, jangan diteruskan. Ini semua juga kesalahanku, karena ketidakberdayaanku. Yang penting sekarang, apakah memang bisa cinta itu hadir dalam pandangan pertama?”
Mata
“Bisa! Asal nafsu tidak ikut serta.”
Aku
“Apa mungkin?”
Hati
“Mungkin! Jika pikiran tidak lagi mengganggu.”
Mata
“Hai hati! Kamu jangan gila. Apa kamu tidak menyadari, selama akal masih ada, pikiran akan selalu mengganggunya.”
Hati
“Kalau begitu?”
Aku
“Ya, hanya kamu yang dapat mencegahnya.”
Akal
“Bukan! Bukan dia saja yang bertanggung jawab. Melainkan aku dan dia yang akan menyadarkan nafsu. Asal dia dan aku bisa menyatu, nafsu dapat kami hentikan.”
Aku
“Lalu kapan itu terjadi?”
Hati
“Saat dirimu memahami kami.”
Aku
“…?”
1 Komentar untuk "PANDANGAN PERTAMA"
siip..
Komentarlah Dengan Baik dan Benar. Jangan ada SPAM dan beri kritik saran kepada blog ILMU DUNIA DAN AKHIRAT.
Mengingat Semakin Banyak Komentar SPAM maka setiap komentar akan di seleksi. :)
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berbicara yang baik-baik atau diam." (HR. Bukhari)
>TERIMA KASIH<