Cerpen Hamdy Salad
BURUNG-BURUNG terbang meninggalkan musim dingin menuju
tempat yang lain. Melintasi laut dan hutan. Menggaris cakrawala di langit
keabadian. Sebagian pergi menaikkan derajatnya menuju tingkat yang lebih tinggi.
Sebagian dilepas dan diberi angka pada sayapnya, agar mudah dikenali kemana pun
mereka pergi. Sebagian lagi hanya bisa menghabiskan waktu untuk bernyanyi dalam
sangkar tirani.
Seperti juga tetangganya, orang itu tak pernah bosan
untuk bersiul. Mengajari burung bernyanyi dengan irama yang tidak pasti. Setiap
sore dan pagi hari, ia berdiri di depan rumah. Memberi makan dan minum melebihi
anaknya sendiri. Ketan hitam, buah pisang dan gabah, juga air yang telah
direbus dengan daun jambu, selalu ada di kepalanya. Tapi burung tak juga pandai
bernyanyi, kecuali beriak dengan suara serak. Memaki-maki pita suara dalam
tenggorokan lalu amarah merasuk di dada pemiliknya. Mengajak anggota badan
untuk bertindak. Menggerakkan kedua lengannya yang kokoh untuk membanting
sangkar sampai roboh ke tanah. Dan burung pun terbang, tergopoh-gopoh, mencari
kebebasan yang telah lama dirindukan.
Pada saat yang kurang tepat, tetangga itu datang ke
rumahnya. Mengumbar basa-basi dalam dunia burung. Di dekat mereka mengobrol,
seekor beo masih bertengger dengan rantai di kaki kanan. Matanya melotot,
menatap tetangganya tanpa ragu. Sepertinya beo itu hendak bicara, mengabarkan
luka yang diderita oleh majikannya.
"Aku tetanggamu. Tak mungkin bisa menutup
telinga."
"Ya. Pada minggu terakhir sebelum kepergiannya,
burung itu telah membuat sarang dalam sangkar. Dan ketika sangkar telah rusak,
sarang itu berpindah tempat ke dalam tubuh majikannya. Hingga tubuh sang
majikan terasa sesak. Penuh jerami yang berserak."
"Lalu, pergi ke mana?"
"Mencari musim di tempat yang lain. Sebab burung
yang tinggal dalam sarang tertentu, dengan mudah akan ditangkap orang, setiap
musim setiap waktu."
Tetangga itu bangkit. Lalu pamit dan kembali ke dalam
rumah sendiri. Sunyi tanpa kata-kata. Memahami bahasa burung dengan lidah
manusia. Menerbangkan khayalan menuju kenyataan. Membawa mimpi ke dalam
kehidupan. Burung pelatuk mencari makanan; mematuki pohon yang keras sebanyak
20 kali dalam 2 detik tanpa cedera; pendarahan otak atau sakit kepala. Burung ababil
membawa kerikil dan batu api tanpa terbakar tubuhnya; juga sayap dan
bulu-bulunya.
Burung-burung selalu dipuja karena suara indah yang
keluar dari tenggorokannya. Perkutut jantan yang terkenal itu, mendapat
sertifikat yang lebih mahal dari kemerdekaan. Kutilang berjengger biru ditukar
orang dengan mobil terbaru. Cucakrawa berbulu putih dikeramatkan sebagai bangsa
burung yang terpilih. Sementara elang, makhluk pemakan daging itu, tetap setia
menggaris laut. Menunggu mangsa yang luput.
Elang bermata merah mengepakkan sayapnya menuju tempat
fajar merekah. Kemudaian berdandan, menjelma makhluk paling serakah; meminum
nanah; memakan daging-daging busuk sampai muntah. Sedang elang bermata hitam,
terbang ke arah matahari tenggelam. Lalu bernyanyi, mabuk dan gila sampai mati.
Sayap-sayapnya yang patah jatuh ke bumi. Menjadi pena. Menuliskan sejarah
sendiri tanpa tinta.
"Bukankah bumi juga memiliki mata pena?"
"Ya. Tapi langit yang menyimpan tintanya."
"Jadi?"
"Jadi bumi tak bisa menulis sejarah sendiri. Kecuali
langit mengirimkan tinta yang lebih murni."
"Ah!!"
"Lelaki juga punya burung. Tapi perempuan yang
menyimpan sayapnya. Jadi lelaki tak bisa terbang sendirian, kecuali perempuan
mengepakkan sayapnya."
Dan ini juga burung. Walau hari sudah sore dan petang,
walau angin ribut selalu datang, sekelompok merpati itu tak mau pergi dari
tempat kebebasannya. Mereka habiskan waktu untuk bersendau-gurau sembari
mengais sisa-sisa makanan orang. Hingga sayap-sayapnya menjadi malas terbang
dan kembali ke dalam sarang. Makhluk-makhluk bertelinga kecil itu lebih suka
tertidur dan menunggu pagi di taman-taman kota. Para pemburu yang kebetulan
lewat dan melihatnya, tanpa perintah atau komando, langsung menembaki mereka
tanpa aturan. Merpati-merpati kelimpungan. Lalu roboh ke tanah. Tak bisa lagi
terbang, berkicau atau berdendang, kecuali menangis dan merintih dalam perut
si-gendut. Perut pemakan daging yang sedang ribut di balik dinding.
Kalau saja Daud dan Sulaiman masih hidup, tangisan itu
dapat digubah sebagai nyanyian dalam telingamu. Dan engkau pun menjadi bebas
merdeka untuk terbang menemui diri di atas langit yang tinggi. Sebab burung
telah menjadi amsal ruhani untuk membawa pesan-pesan rahasia ke dalam bahasa
manusia.
"Maka, pujilah nama Tuhanmu yang telah menerbangkan
burung-burung semesta dari sangkar derita. Dan burung-burung pun menjadi
bahagia dalam istana yang sesungguhnya."
Seperti juga tetangganya, orang itu tak pernah peduli
pada kenyataan di luar angkasa. Pada burung-burung cahaya yang menerbangkan
manusia sempurna menuju surga. Serupa sayap-sayap jibril, mereka berkepak
membawa bahtera, mengangkat ruh para nabi menuju singgasana yang abadi.
Sementara wali dan orang-orang terpilih yang teraniaya atau disiksa para
penguasa, memperoleh sayap dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat dari
burung-burung putih untuk terbang dan kembali ke dalam istana sejati.
Simurgh, burung merak dengan sayap-sayapnya yang indah,
telah dinobatkan sebagai mahkota yang mesti dicinta. Sedang bul-bul
menggantikan sayap-sayap manusia sebagai anugerah para pecinta. Lalu hud-hud,
burung yang paling beruntung di dunia, menurunkan rahasia Tuhan kepada
Sulaiman. Hingga Balqis, perempuan ratu yang terkenal itu, menjadi tunduk dan
berserah diri di hadapan raja Yang Maha Suci. Lalu duduk dan berdiri; membaca
syahadat sampai kembali ke dasar bumi.
"Telah kuingat semua nama yang indah. Dan kulepaskan
semua burung yang mati dari sangkar resah." Seekor gagak menggali tanah;
mengajarkan cara pada anak adam dan hawa untuk mengubur dan menutup aib
saudara.
"Oh. Celakalah aku. Mengapa aku tidak bisa berpikir
seperti burung gagak itu, sehingga saudaraku Habil dapat dikubur di bumi
ini." Qabil menyesal. Lalu bergerak dan mengantar kepergian saudaranya
dengan cara burung gagak. Menutup jasadnya dengan tanah, melepaskan jiwanya
dengan penuh rahmah.
Tangan doa menengadah ke angkasa. Mendedah sebutir pasir
di tengah mutiara. Seperti juga tetangganya, orang itu bersusah-payah untuk
menjadi diri sendiri. Setiap hari, dari pagi sampai petang, dari petang sampai
pagi lagi, tak pernah lupa untuk mengaji. Memahami bahasa burung dengan
kalimat-kalimat suci yang lebih abadi. Kecuali tertidur dan mati.
Tapi hidup telah membawa jiwanya untuk menolak rasa
kantuk, tertidur atau mati dengan sia-sia. Selain rindu yang luar biasa untuk
bertemu dan terbang bersama burung-burung bersayap sutra. Burung-burung
kesaksian yang mengangkat ruh alam menuju langit keabadian. Sampai selaput yang
tipis di cekung matanya menjadi terkikis. Dan cahaya berkilau, memancarkan
sinar dunia ke wajah bumi yang hijau. ***
0 Komentar untuk "Cerpen : Burung Terbang dari Kuburmu"
Komentarlah Dengan Baik dan Benar. Jangan ada SPAM dan beri kritik saran kepada blog ILMU DUNIA DAN AKHIRAT.
Mengingat Semakin Banyak Komentar SPAM maka setiap komentar akan di seleksi. :)
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berbicara yang baik-baik atau diam." (HR. Bukhari)
>TERIMA KASIH<