Perbincangan mengenai toleransi antarkomunitas agama pasca-Orde Baru dihadapkan pada tiga pertanyaan. Pertama, bagaimana membangun kembali semangat saling percaya (mutual trust) dalam interaksi antarkomunitas agama, setelah konflik-konflik komunal yang menggunakan sentimen agama berlangsung sproradis di berbagai daerah? Kedua, bagaimana meletakkan posisi agama berhadapan dengan negara? Lebih-lebih beberapa tahun terakhir ini, wacana publik "diramaikan" dengan tuntutan kembali ke Piagam Jakarta dan penegakan syariat Islam secara nasional di Sulawesi Selatan, Bangkalan dan Aceh. Ketiga, bagaimana komunitas agama berdampingan dengan diversitas budaya yang dilahirkan oleh masyarakat multikultural? Bagaimana pun dalam konteks kekinian, komunitas agama-agama hidup "sezaman" dengan komunitas subkultur yang berbeda, seperti budaya kosmopolitanisme, globalisme, budaya popular, budaya etnik serta budaya lokal.
Ketiga pertanyaan ini sangat relevan di tengah makin kuatnya penggunaan politik identitas dalam berbagai konflik komunal di masa transisi seperti terjadi pada peristiwa Ambon, Ketapang dan Kupang. Pada saat yang bersamaan, simbol agama juga seringkali digunakan dalam merespons dampak modernitas yang menyentuh komunitas keagamaan. Ada yang menggunakan dalam kerangka yang reseptif -- menerima dan mengolah -- dan ada yang mengusung dalam kerangka yang defensif.
''No Future Without Forgiveness''
Mutual trust sebagai kekuatan mewujudkan komunitas humanistik yang dalam bahasa Putnam disebut komunitas warga (civic community), mengalami kemerosotan yang amat sangat ketika kekuasan rezim Orde Baru kemudian atas nama keragaman agama membatasi kebebasan sipil dan kebebasan politik. Kekuasaan otoriter juga membangun apa yang kemudian disebut ideologi "SARA". Sehingga, bekerjanya pengendalian politik atas pluralisme membuat kemampuan komunitas warga mewujudkan kehidupan yang demokratis melalui kesepakatan-kesepkatan, keseteraan secara politis, solidaritas, kepercayaan (truste), toleransi serta struktur sosial yang kooperatif antarwarga, menjadi memudar digantikan oleh peran negara di seluruh sektor kehidupan.
Ada pertanyaan lanjutan yang cukup sulit setelah itu; bagaimana mengembalikan mutual trust yang sempat goyah akibat pertikaian antarkomunitas agama? Jawaban atas pertanyaan itu tidak mudah. Namun, ada beberapa usaha yang bisa dibangun untuk merintis kembali mutual trust antarkomunitas agama. Pertama, mengembalikan mutual trust sangat tergantung pada kemampuan untuk meretas rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini sangat dekat hubungannya dengan proses ''mengingat'' dan ''melupakan'' masa lalu. Sehingga, untuk membangun saling percaya antarkomunitas agama diperlukan kehendak untuk ''melupakan'' hubungan-hubungan yang buruk (pertikaian) di masa lal. Bahkan bersedia untuk minta maaf atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat dalam sejarah. Semangat rekonsiliasi ini pernah dikedepankan oleh Paus Paulus II ketika beliau meminta maaf atas kesalahan Gereja Katolik di masa lalu, baik pada kaum Yahudi maupun Gereja Ortodox. Proses ''melupakan'' itu juga harus diikuti dengan proses ''mengingat'' hubungan-hubungan harmonis yang terjadi dalam sejarah, baik dilihat dari kesamaan asal-usul, kekerabatan maupun berkebudayaan.
Dalam kasus interaksi antarkomunitas agama di Indonesia, perlu dilakukan pencarian landasan spiritual dalam penanganan konflik dan kekerasan. Landasan spiritual itu misalnya bisa didapat dari tradisi "pertobatan" yang dimiliki oleh semua agama. Tobat berarti menyadari kesalahan-kesalahan yang dilakukan di masa lampau, sekaligus memohon maaf atas kesalahan itu.
Dimensi sosial dari pertobatan dari seluruh komunitas agama menjadi sangat penting karena menjadi titik pijak untuk membangun arena atau era baru yang dilandasi oleh cinta kasih dan semangat nir kekerasan. Di luar bertobat, landasan spiritual bagi rekonsiliasi dapat ditemukan dalam tradisi "ratapan" yang dikenal luas dalam masyarakat etnik di Indonesia (Budi Subanar: 2002). Ritus ratapan merupakan sebuah proses psikologis untuk mengungkapkan dan melepaskan kecemasan dan kesedihan yang menyesakkan dalam perasaan; proses memaknai kematian secara teologis serta; proses sosial untuk mendapatkan solidaritas dalam mengatasi kesedihan dan bangkit membangun kekuatan baru. Ritus ratapan ini bisa mencegah timbulnya lingkaran kekerasan akibat adanya dendam yang direproduksi terus-menerus oleh korban kekerasan.
Kedua, berhadapan dengan realitas konflik dan kekerasan yang melanda Indonesia, komunitas agama-agama perlu membangun gerakan alternatif yang didasarkan pada semangat perdamaian dan nir kekerasan. Mutual trust akan bisa terbangun apabila terjadi dialog-dialog emansipatoris antarkomunitas agama tentang berbagai isu yang dianggap sensitif. Dalam dialog emansipatoris, lebih didasarkan pada keterbukaan, keseteraan, pembebasan dan tidak dipenuhi oleh apa yang sering disebut dengan prasangka dan stereotype.
Dialog juga seharusnya memasuki isu-isu sensitif yang seringkali mendominasi dialog-dialog antarkomunitas agama di Indoensia dan menimbulkan prasangka adalah isu Kristenisasi dan Islaminisasi, sehingga perlu dikembangkan kembali dialog yang intensif mengenai dua isu ini.
Ketiga, mutual trust akan bisa terbangun apabila ada ''proyek bersama'' di masa depan yang ingin diwujudkan. Di zaman revolusi kemerdekaan, berbagai komunitas agama bisa bersatu karena harus mewujudkan negara-bangsa yang bebas dari kolonialisme. Pada masa kekinian, komunitas agama seharusnya bersatu dalam menghadapi masalah-masalah kemanusiaan yang harus dihadapi.
Relasi Agama dan Negara
Dalam wacana hubungan antaragama dan Negara, setidaknya akan dijumpai dua arena perdebatan yang mencerminkan perspektif yang berbeda. Perspektif pertama, memperlakukan negara sebagai sebuah arena dari kontestasi intra dan antaragama. Konsekuensinya, kebijakan negara merupakan produk akhir dari tarik-menarik kekuatan (power game) di antara institusi politik agama. Apabila satu kelompok politik yang mengusung sentimen agama tertentu memenangkan pertarungan politik ini maka sudah dipastikan seluruh haluan negara mencerminkan pemikiran ideologis kelompok yang menang. Sedangkan kelompok politik yang kalah akan menunggu kesempatan berikutnya.
Kalau posisi negara sebagai arena yang dipilih maka salah satu agenda yang paling pertama adalah membangun kesepakatan kelompok-kelompok agama yang bertikai untuk menggunakan cara-cara demokratis dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi. Karena demokrasi sebagai suatu sistem persaingan dan konflik yang terlembagakan memerlukan cara-cara yang terpercaya (andal) untuk mengelola konflik dengan penuh damai dan secara konstitusional, dengan tetap menjaga batas-batas kesusilaan, ketertiban dan pengendalian tertentu.
Bagaimana sistem demokrasi mewujudkan hal ini? Ilmuwan politik seperti Robert Dahl menegaskan pentingnya praktik dan pengertian yang akomodatif dan moderat dari institusi dan kelompok elite agama dalam memperkembangkan suatu sistem "keamanan timbal-balik" yang menjamin derajat perlindungan minimal bagi kepentingan dasar setiap pesaing politik utama. Sehingga, kekalahan tidak berarti dikucilkan secara total dan permanen dari kekuasaan dan sumber daya. Perasaan saling percaya yang sangat dalam di antara pesaing politik semacam itu sangat penting untuk menjamin kondisi demi terwujudnya demokrasi yang stabil.
Sementara perspektif kedua, menempatkan negara sebagai aktor yang sama sekali terpisah dari pluralitas agama. Salah satu yang terpenting dalam sejarah adalah terbangunnya format negara sekuler dan demokrasi konstitusionalisme. Asal-usul demokrasi konstitusionalisme ini mungkin bisa dilacak dari pemikiran para teori kontrak sosial mulai dari Rouseu, Montesqui dan John Locke. Demokrasi konstitusionalisme berpusat pada sistem parlementarianisme dan penghargaan pada civil liberties. Civil liberties merupakan institusionalisasi dari hak-hak asasi manusia serta hak-hak kewarganegaraan.
Pengenalan Citizenship pada konteks ini menghapuskan loyalitas yang berbasiskan agama (umat yang internasionalis) ke kesetiaan yang berujung pada negara-bangsa (nation-state). Pengakuan terhadap hak-hak warga negara ini merupakan transformasi dari model "kawula" dan "umat", yang didasarkan poros tuan (bangsawan)-kawula, dan institusi (krerikal)-umat, menjadi sosok warga negara yang didasarkan pada prinsip equality (persamaan).
Dua perspektif di atas tentu saja memiliki sejumlah keterbatasan. Memposisikan negara sebagai arena bisa menjebak negara sebagai alat (instrumen) dari kekuatan politik agama dominan. Sementara negara sekuler juga gagal melihat fungsi kontributif agama. Beranjak dari dua perspektif itu, agama seharusnya bukan lagi menjadi alat negara agama atau negara sekuler, melainkan memerankan dirinya sebagai "roh" dalam membangun etika politik dalam budaya civility, tanpa harus didasarkan atas klaim formal. Setiap agama sudah dapat dipastikan didasarkan atas kehendak untuk membangun peradaban yang lebih baik. Atau dengan bahasa lain agama bisa menjadi code of conduct, landasan etik bagi pergaulan antarwarga negara. Pesan moral yang dibawa agama bisa membuat politik lebih beradab dan bermartabat. Dari titik pijak inilah agama bisa memberikan kontribusi bagi pembentukan budaya beradab dan kewarganegaraan.
Agama dan Masyarakat Multikultur
Persoalan terakhir adalah menyangkut posisi agama dalam masyarakat multikultur. Hal ini penting karena toleransi yang terjaga antarkomunitas agama tidak ada artinya, apabila komunitas agama mempunyai sikap yang berbeda dengan lingkungan multikultur. Banyak isu strategis yang berkaitan dengan itu, misalnya bagaimana sikap lima agama-agama besar di Indonesia terhadap agama-agama "lokal", seperti kepercayaan Marafu di kalangan etnik Sumba, ataupun tradisi Kaharingan dalam etnik dayak di Kalimantan. Dan, bagaimana pula sikap agama-agama terhadap budaya pop yang makin eskalatif penyebarannya melalui media komunikasi massa. Dengan demikian, mutual trust dan sikap toleran seharusnya tidak hanya terbangun dalam hubungan antarkomunitas agama, melainkan juga memasuki arena-arena kebudayaan dalam masyarakat multikultur. Selamat tahun baru.
ILMU DUNIA DAN AKHIRAT. Powered by Blogger.
0 Komentar untuk "Agama dan Masyarakat"
Komentarlah Dengan Baik dan Benar. Jangan ada SPAM dan beri kritik saran kepada blog ILMU DUNIA DAN AKHIRAT.
Mengingat Semakin Banyak Komentar SPAM maka setiap komentar akan di seleksi. :)
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berbicara yang baik-baik atau diam." (HR. Bukhari)
>TERIMA KASIH<